Johnboy dan Tatto Rerajahan Tradisi Bali

IMG_20171105_105139

Gede Boyke Himawan sedang merajah tangan kanan Ketut Toris ketika saya mengunjungi Summer Ink Seven di Kuta, Senin (6/11/2017). Jarum dan tinta meliuk-liuk di atas kulit ari Toris. Sembari rebahan di atas matras, mata Toris tampak merem melek. Suara gamelan baleganjur yang diputar Johnboy – demikian nama beken Gede Boyke Himawan – memenuhi sudut-sudut ruangan.

“Sakit itu relatif, saya lebih baik tidur sambil menikmati. Hahaha,” seloroh Toris.

Itu adalah tatto ketiga yang menghiasi tubuh Toris, yaitu sebuah gambar Buddha bergaya realis. Di lengannya sudah terlebih dahulu dihiasi gambar Ganesha. Kalau saja dari dulu istrinya mengizinkan membuat tatto, Toris kira seluruh tubuhnya sudah dipenuhi dengan tatto. Belakangan, justru istrinya yang ikutan membikin tatto di lengan kanannya.

“Sekarang, kalau sedang senggang, saya pasti terus menambah tatto karena sudah mendapat lampu hijau dari istri,” imbuh Toris yang seorang juragan babi guling ini.

Johnboy, sang seniman tatto, mengaku secara profesional menekuni dunia tatto di Kuta sejak tahun 2005. Awalnya, ia hanya membuat tatto secara tradisional di kampung halamannya, di Desa Sidatapa, Buleleng. Lulusan UNHI Denpasar ini secara khusus mendalami rerajahan Bali, meskipun ia juga tetap meladeni konsep yang diinginkan customer.

“Idealisme agak dikesampingkan karena sudah terjun di dunia profesional, tetapi basic saya tetap rerajahan tradisional Bali,” ujar Johnboy.

Bila memperhatikan beberapa studio tatto yang menjamur di kawasan Kuta, studio Johnboy memang memiliki keunikan tersendiri. Dalam bekerja, ia menggunakan kain dan senteng khas Bali. Hal itu, kata dia, merupakan panggilan hatinya sendiri untuk menjaga taksu. Terlebih lagi, Johnboy termasuk seniman tatto yang ngiring. Ia tidak boleh membuat tatto bergambar barong, rangda, maupun celuluk.

“Itu sudah petunjuk sesuhunan, tidak boleh tiyang langgar,” imbuhnya.

Bagi Johnboy, tatto tidak terlepas dari
art, culture, and lifestyle. Atau, bisa juga menjadi ekspresi spiritual bagi beberapa orang. Ia menyadari, sejak tahun 2010, studio tatto semakin menjamur di Kuta. Namun demikian, sebagai pegiat rerajahan tradisi, ia tidak pernah merasa ada persaingan. Sebab, menurut dia, taksu tidak bisa diperjualbelikan.

“Kalau sudah merasa bersaing, itu bukan taksu namanya, tapi ego. Taksu itu mensyukuri, dapat atau tidak dapat pelanggan,” imbuhnya.

Johnboy menjelaskan, tahap pembuatan tatto mulai dari permintaan customer. Setelah deal gambar yang akan dibuat, dimulailah menyiapkan peralatan seperti jarum dan tinta. Karena kulit orang Asia lebih kuat dari orang Eropa, maka digunakan tinta khusus. Setelah membuat outline pada bagian tubuh pelanggan, selanjutnya dikover menggunakan plastik untuk sterilisasi agar tidak terkena debu. Oleh karenanya, pembuatan tatto harus dilakukan secara indoor.

“Dulu orang di pinggir jalan buat tatto sambil merokok, sekarang gak boleh. Yang paling utama, alat harus steril,” sambungnya.

Ada aturan tersendiri yang diterapkan Johnboy. Secara internasional, orang diperbolehkan membuat tatto minimal berumur 18 tahun. Sehingga, bila ada anak-anak sekolah yang ingin membikin tatto di studionya, ia harus mendapat izin dan mengajak orang tuanya. Sebab, menurutnya, anak yang masih sekolah belum pantas merajah tubuh dengan tatto.

“Membuat tatto adalah keputusan terbesar dalam hidup, karena membawa memori panjang. Aturan itu saya berlakukan baik untuk orang lokal maupun bule,” imbuhnya.

Karya tatto Johnboy kebanyakan diminati oleh wisatawan Australia, Belanda, Swedia, Inggris, dan Prancis. Tetapi, yang secara khusus menyukai rerajahan tradisi Bali, lebih banyak diminati bule Australia dan Belanda. Untuk harga, bagi orang asing dikenakan tarif Rp 1,5 juta per jam. Sedangkan, untuk orang lokal, ia menyebutnya sebagai harga nyama.

“Orang asing lebih bisa menghargai seni, jadi dia sudah mengerti. Kalau orang lokal, bisa pakai harga nyama,” imbuh Johnboy sembari melempar senyum.

Widyartha Suryawan | 6 November 2017

 

 

Tinggalkan komentar